Minggu, 17 Juli 2011 ·


Dekubitus merupakan masalah yang dihadapi oleh pasien-pasien dengan npenyakit kronis, pasien yang sangat lemah, dan pasien yang lumpuh dalam waktu lama, bahkan saat ini merupakan suatu penderitaan sekunder yang banyak dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian menunjukkan bahwa 6,5-9,4% dari populasi umum orang dewasa yang di rumah sakit, menderita paling sedikit satu dekubitus pada setiap kali masuk rumah sakit(Barbenel et el, 1997; Jordan dan nikol, 1997); davil et al, 1983). Pada populasi pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, insiden dekubitus dapat menajadi jauh lebih tinggi (exton-smith,1987)

.
Keberhasilan pengobatan dekubitus melalui pembedahan di mulai pada saat perang dunia II ketika para dokter dihadapkan pada meningkatnya jumlah pasien muda yang menderita cedera saraf spinal. Pada saat yang sama, diketahui pula diet tinggi protein dibutuhkan untuk mengatasi keseimbangan nitrogen negative pada pasien luka terbuka yang kronis (Mulholland et al, 1943).
               Sejak itu, meskipun pencegahan dan pengobatan dekubitus telah diteliti secara luas lebih dari 30 tahun terakhir ini , hanya terdapat sedikit bukti yang menunjukkan adanya penurunan insidens dekubitus atau adanya suatu perbaikan dalam pengobatannya. Dalam penelitian besar yang dipublikasikan pada tahun 1983, perawat diketahui telah menggunakan 98 substansi yang berbeda untuk mengobati dekubitus( david et al, 1983). Kebanyakan hanya membuang waktu dan tenaga,sedangkan lainnya secaara nyata menghambat penyembuhan . penelitian lain baru-baru ini, menunjukkan adanya ketidakmengertian tentang penyembuhan luka diantara para perawat maupun mereka yang mengajari para perawat tersebut(gould, 1985, 1986). Pengetahuan yang kita miliki tentang etiologi dekubitus, pencegahan, serta pengobatannya seperti kurang dipergunakan.
Insidens dekubitus dapat secara nyata diturunkan bila penanggung jawab dibidang  kesehatan atau rumah sakit  telah mengembangkan suatu kebijakan tentang pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diketahui dan dilaksanakan semua karyawan (livesly, 1987; hibbs 1988). Kebutuhan untuk mengenalkan pelayanan pencegahan dan pengobatan dekubitus yang diorganisasi  dan diaudit denga tepat , telah disadari oleh para dokter dari Royal Collage(1986),
Tetapi kebanyakan dokter tidak memandang pencegahan dan penatalaksanaan dekubitus sebagai tanggung jawab mereka.
               Definisi dekubitus adalah: suatu daerah kerusakan seluler yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit,sehingga menyebabkan “iskemia tekanan”, maupun akibat kekuatan gesekan, sehingga menyebabkan stress mekanik terhadap jaringan. Tekanan dan kekuatan gesekan akan mengganggu mikrosirkulasi jaringan local, dan mengakibatkan hipoksia serta memperbesar penbuangan metabolic yang dapat menyababkan nekrosis. Beberapa system klasifikasi yang pernah dikembangkan (forrest 1980;Torrance 1983) didasarkan pada penyabab, tampilan makroskopis dan manifestasi klinis dekubitus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dekubitus
               Hampir semua dekubitus terutama disebabkan oleh tekanan yang terus menerus, biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi baik relatif maupun total (barbenal, 1990). Dimana kulit dan jaringan di bawahnya secara langsung tertekan diantara tulang dan permukaan keras lainnya seperti tempat tidur, kursi, meja operasi, atau brankar(versluysen, 1986). Tempat yang paling sering mengalami dekubitus adalah daerah sacrum, mudian daerah trokanter pada femur, tuberositas ishii, dan lutut

Klasifikasi perkembangan dekubitus
               Derajat 1 hiperemia yang memucat. Tekana yang ringan dan singkat denga jari pada tempat terjadinya eritema yang diakibatkan tekanan di atas kulit dalam priode lama, dapat menyebabkan kulit menjadi pucat,
               Derajat 2 hiperemia yang tidak memucat. Eritema yang tidak hilang pada saat dilakukan tekanan ringan denga jari, mengindikasikan adanya beberapa gangguan mikrosirkulasi. Mungkin terjadi kerusakan superficial, termasuk ulserasi epidermal.
               Derajat 3 ulserasi perkembangan melewati dermis. Ulserasi perkembangan kebidang pemisah dengan jaringan subkutan.
               Derajat 4 ulkus meluas ke dalam lemak. Otot yang berada dibawahnya mengalami pembengkakan dan inflamasi. Ulkus cendrung untuk menyebar kearah lateral , sementara perkembangan ke bawah dihalangi oleh fasia profunda.
               Derajat 5 nekrosis infektif menembus ke bawah menuju fasia profunda  pada saat ini , destruksi muskulus terjadi dengan cepat.
               Tidak terdapat persetujuan ilmiah tentang lamanya waktu penekanan yang diberikan sebelum cedera terjadi. Tekanan ringan yang berkepanjangan dapat sama berbahayanya dengan tekanan yang berat dalam waktu singkat (kosiak,1959). Pada masa lalu, secara umum dianggap bahwa setiap periode tekanan yang lebih dari 2 jam, sangat mungki dapat menyebabkan trauma. Untuk pasien yang menderita kakeksia, kelemahan atau penyakit terminal , kerusakan jaringan dapat terjadi dalam waktu yang jauh lebih singkat dari pada yang tersebut diatas. Secara normal, pasien mengalami gesekan maupun tekanan (bennet dan lee,1985). Yang secara khusus menjadi sangat penting pada pasien paraplegia, pasien yang sangat lemah,ataupun pasien lanjut usia ketika berada dalam posisi setengah telentang . pasien paraplegia secara khusus sangat berisiko karena mereka tidak dapat merasakan adanya kerusakan yang sedang terjadi.umumnya pasienyang harus duduk pada kursi roda dalam waktu lama jauh lebih mudah mengalami dekubitus dari pada pasien yang harus menjalani tirah baring.
               Efek dari kekuatan gesekan adalah terganggunya mikrosirkulasi local melalui penggantian
, distorsi atau terpotongnya pembuluh darah pada saat lapisan- lapisan kulit gesekan. Mekanisme yang berperan dalam pathogenesis dekubitus telah diulas oleh scales(1990)
               Pentingnya imobilisasi dalam perkembangan dekubitus, baik melalui paralisis, anastesi, nyeri, maupun melalui sedasi, tidak dapat terlalu dititikberatkan. Faktor eksaserbasi lainnya termasuk inkontinensia , malnutrisi, dan hilang nya fungsi sensoris akibat paraplegia atau hemiparesis
Terdapat hubungayang kuat antara inkontinensia dengan dekubitus (exton-smith, 1987) urine dapat menyebabkan meserasi dan ekskoriasi kulit, serta abrasi superficial akibar gesekan menjadi jauh lebih mudah terjadi. Malnutrisi secara tidak langsung menyebabkan dekubitus, tetapi malnutrisi merupakan faktor eksaserbasi yang sangat penting didalam perkembangan dekubitus (agarwel et al, 1985).
Insidens dekubitus tertinggi terdapat pada lansia yang juga mempunyai gangguan patologis multiple berkaitan dengan usia. Kulit pasien lansia mudah terkena cedera dan menjadi lebih  buruk  penyembuhan lukanya karena kondisi seperti tersebut diatas dan juga karena  perubahan fisiologis  normal berkaitan dengan usia yang terjadi dalam jaringan.


Morison, J.M. (2003). Manajemen luka. Jakarta:EGC
| More

0 komentar:

Posting Komentar

Sponsor :

Entri Populer

 

Suhardi | Copyright © 2009 - Blogger Template Designed By BLOGGER DASHBOARD