perkembangan keperawatan di indonesia

Rabu, 13 Juli 2011 ·


Seiring dengan era reformasi dan era globalisasi di Indonesia saat ini, juga  diikuti dengan perubahan pemahaman terhadap konsep sehat-sakit, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penyebaran informasi tentang determinan kesehatan yang bersifat multifaktorial . Kondisi ini  mendorong pembangunan kesehatan nasional ke arah paradigma baru yaitu paradigma sehat. Dalam perkembangannya keperawatan mengalami pasang surut sekaligus babak baru bagi kehidupan profesi keperawatan di Indonesia.

Gambaran Keperawatan di Indonesia
Kondisi keperawatan di Indonesia memang cukup tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Piliphina, Thailand, dan Malaysia, apalagi bila ingin disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Pendidikan rendah, gaji rendah, pekerjaan selangit inilah paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak sedikit perawat yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah sakit negeri, siang hingga malam di rumah sakit swasta. Dalam kondisi yang demikian maka sulit untuk mengharapkan kinerja yang maksimal. Apalagi bila dilihat dari rasio perawat dan pasien, dalam satu shift hanya ada 2-3 perawat yang jaga sedangkan pasien ada 20-25 per bangsal jelas tidak proporsional(Yusuf,2006).

          Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Hal ini disebabkan
kebijakan zero growth pegawai pemerintah, ketidakmampuan rumah sakit swasta mempekerjakan perawat dalam jumlah memadai,  rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan lemahnya kemampuan  berbahasa asing. Ironisnya, data WHO 2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa, Australia dan Timur Tengah. Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari pihak rumah sakit “mereka sendiri yang datang minta magang”. Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur , magang di rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa . Padahal kalau kita menyadari sebenarnya banyak sekali kesempatan dan tawaran kerja di luar negeri seperti :USA,. Canada, United Kingdom (Inggris), Kuwait, Saudi Arabia, Australia, New Zaeland, Malaysia, Qatar, Oman, UEA, Jepang, German, Belanda,  Swiss (Yusuf, 2006).       

  Kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global. Salah satu tolak ukur kualitas dari Perawat di percaturan internasional adalah kemampuan untuk bias lulus dalam Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan EILTS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan (Muhammad, 2005)

Sejak disepakatinya keperawatan sebagai suatu profesi pada Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983, terjadilah pergeseran paradigma keperawatan dari pelayanan yang sifatnya vokasional menjadi pelayanan yang bersifat professional. Keperawatan kini dipandang sebagai suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio,psiko,sosio dan spiritual yang komperehensif, dan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang baik yang sehat maupun yang sakit dan mencakup seluruh siklus hidup manusia . Sebagai profesi yang masih dalam proses menuju “perwujudan diri”, profesi keperawatan dihadapkan pada berbagai tantangan. Pembenahan internal yang meliputi empat dimensi domain yaitu; Keperawatan, pelayanan keperawatan, asuhan keperawatan, dan praktik keperawatan. Belum lagi tantangan eksternal berupa tuntutan akan adanya registrasi, lisensi, sertifikasi, kompetensi dan perubahan pola penyakit, peningkatan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban, perubahan sistem pendidikan nasional, serta perubahan-perubahan pada suprasystem dan pranata lain yang terkait (Yusuf, 2006).
Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih mengukuhkan keperawatan sebagai suatu profesi di Indonesia. Adanya Undang-undang No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat untuk melaksanakan praktik keperawatan secara profesional menjadi suatu keharusan dan kewajiban yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman tetang standar praktik, standar asuhan dan pemahaman hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi setiap insan pelaku praktik keperawatan di Indonesia  (Yanto, 2001)
Konsekuensi dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan pengembangan staf yang tertata baik, imbalan jasa, insentif serta sistem penghargaan yang sesuai dan memadai. Rendahnya imbalan jasa bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di bawah upah minimum regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia antara Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina tak kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat di Indonesia juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan Perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi Perawat di pandang rendah oleh profesi lain. Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a.  Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen penegakan  hukum di Negara Republik Indonesia.
c.Minimnya pendapatan secara finansial dari rekan-rekan perawat secara umum
d.Kurang peranya organisasi profesi dalam membantu pemecahan permasalah tersebut.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang masih menganggap bahwa Perawat juga tidak berbeda dengan “DOKTER”atau petugas kesehatan yang lain (Muhammad, 2005)


Kondisi Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia
Pengakuan body of knowledge keperawatan di Indonesia dimulai sejak tahun 1985, yakni ketika program studi ilmu keperawatan  untuk pertama kali dibuka di Fakultas Kedokteran UI. Dengan telah diakuinya body of knowledge tersebut maka pada saat ini pekerjaan profesi keperawatan tidak lagi dianggap sebagai suatu okupasi, melainkan suatu profesi yang kedudukannya sejajar dengan profesi lain di Indonesia. Tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan perawat menjadi pekerja profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1995 program studi itu mandiri sebagai Fakultas Ilmu Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat profesional. Program Pascasarjana Keperawatan dimulai tahun 1999. Kini sudah ada Program Magister Keperawatan dan Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, Komunitas, Maternitas, Anak Dan Jiwa.

Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi  Keperawatan baik itu tingkat Diploma III (akademi keperawatan) maupun Strata I. Pertumbuhan institusi keperawatan di Indonesia menjadi tidak terkendali. Seperti jamur di musim kemarau. Artinya di masa sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru meningkat pesat. Parahnya lagi, fakta dilapangan menunjukkan penyelenggara pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan dari profesi non keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas (Yusuf, 2006). Saat ini di Indonesia berdiri 32 buah Politeknik kesehatan dan 598 Akademi Perawat yang berstatus milik daerah,ABRI dan swasta (DAS) yang telah menghasilkan lulusan sekitar 20.000 – 23.000 lulusan tenaga keperawatan setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia sehat 2010 sebanyak 6.130 orang setiap tahun,  maka akan terjadi surplus tenaga perawat sekitar 16.670 setiap tahunnya. (Sugiharto, 2005).

Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga keperawatan yang walaupun secara kuantitas merupakan jumlah tenaga kesehatan terbanyak dan terlama kontak dengan pasien, namun secara kualitas masih jauh dari harapan masyarakat. Indikator makronya adalah rata-rata tingkat pendidikan formal perawat yang bekerja di unit pelayanan kesehatan (rumah sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK (sederajat SMA/SMU). Berangkat dari kondisi tersebut, maka dalam kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari World Bank, melalui program “health project” (HP V) dibukalah kelas khusus D III keperawatan hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia juga memberikan bantuan untu peningkatan kualitas guru dan dosen melalui program “GUDOSEN”. Program tersebut merupakan suatu percepatan untuk meng-upgrade tingkat pendidikan perawat dari rata-rata hanya berlatar belakang pendidikan SPK menjadi Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program ini diharapkan bisa memperkecil gap antara perawat dan dokter sehingga perawat tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dokter (Prolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan(Yusuf, 2006).
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sisitem pendidikan keperawatan di Indonesia adalah UU no. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, Peraturan pemerintah no. 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan keputusan Mendiknas no. 0686  tahun 1991 tentang Pedoman Pendirian  Pendidikan Tinggi (Munadi, 2006). Pengembangan sistem pendidikan tinggi keperawatan yang bemutu merupakan cara untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang profesional dan memenuhi standar global. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan keperawatan menurut Yusuf (2006) dan Muhammad (2005) adalah :
1.      Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, kurikulum dari institusi pada pendidikan.
2.      Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa inggris. Semua Dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus mampu berbahasa inggris secara aktif
3.      Menutup institusi keperawatan yang tidak berkualitas
4.      institusi harus dipimpin oleh seorang dengan latar belakang pendidikan keperawatan
5.      Pengelola insttusi hendaknya memberikan warna tersendiri dalam institusi dalam bentuk muatan lokal,misalnya emergency Nursing, pediatric nursing, coronary nursing.
6.      Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di insitusi pendidikan keperawatan
7.      Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Organisasi profesi serta sector lain yang terlibat mulai dari proses perizinan juga memiliki tanggung jawab moril untuk melakukan pembinaan.

Trend Dan Isu Keperawatan Di Indonesia
Salah satu masalah kesehatan yang menonjol di Indonesia semenjak otonomi daerah adalah kasus gizi buruk. Salah satu cara pemerintah untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan revitalisasi untuk menghidupkan kembali konsep Posyandu melalui konsep Desa Siaga. Kebijakan pemerintah ini dapat mengalami hambatan untuk diwujudkan karena tidak melibatkan perawat untuk ambil bagian  dari desa siaga tersebut, yang disebabkan kurangnya pemahaman pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tersebut atau memang sengaja pemerintah untuk tidak melibatkan perawat. Padahal dengan adanya spesialisasi keperawatan komunitas dan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239 tahun 2001 tentang registrasi dan praktik perawat, tenaga keperawatan dapat memberikan kontribusi yan maksimal dalam penyukseskan program desa siaga.
Saat ini masih terjadi persepsi yang keliru si masyarakat tentang profesi keperawatan di Indonesia. Persepsi keliru itu terjadi karena kesalahan informasi yang mereka terima dan kenyataan di lapangan. Kondisi ini didukung pula dengan kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan perawat seperti mengambilkan stetoskop, tissue untuk para dokter. Masih banyak para perawat yang tidak percaya diri ketika berjalan  dan berhadapan dengan dokter. Paradigma ini harus dirubah, mengikuti perkembangan keperawatan dunia. Para perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya hanya membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggungjawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkuwalitas dan berdedikasi. Pemilik dan pengelola insititusi pendidikan keperawatan  yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi dapat menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada. Hal ini dapat di ukur dengan kalah bersaingan para Perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipina dan India. Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global.Disisi lain dengan berkembangnya pola pelayanan kesehatan di Indonesia memberikan kesempatan pada perawat untuk memperluas peran dan fungsinya, sehingga perlu ditunjang dengan latar belakang jenjang pendidikan tinggi dalam bidang keperawatan termasuk pendidikan spesialistik, sehingga mampu bekerja pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
Isu hangat di berbagai pertemuan keperawatan baik regional maupun nasional adalah isu tentang jasa keperawatan. Hal ini merupakan kebutuhan mendesak, karena dapat menimbulkan dampak serius, seperti penurunan mutu pelayanan, meningkatnya keluhan konsumen, ungkapan ketidakpuasan perawat lewat unjuk rasa dan sebagainya. Isu ini jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, menghambat perkembangan rumah sakit serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi. Hal ini juga terkait dengan kesiapan Indonesia menghadapi AFTA 2003.
Menurut Muhammad (2005) dan kompas (2001), Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tenaga perawat yang menganggur , antara lain :
1.      Mengembangkan praktik mandiri keperawatan secara berkelompok maupun individu untuk konsultasi, melakukan kunjungan rumah, hospice care untuk pasien terminal
2.      Perawat  bisa bekerja di perusahaan untuk menjaga kesehatan pekerja dan kecelakaan kerja
3.      Perawat dapat melakukan dan terlibat secara aktif dalam melakukan riset dan penelitian di bidang keperawatan
4.      Pemerintah memfasilitasi dan menggalakkan penempatan tenaga perawat di luar negeri bagi perawat yangmemenuhi kualifikasi.
5.      Memberi sangsi kepada rumah sakit  atau institusi pelayanan kesehatan yang memberikan gaji di bawah standar.

Pada akhirnya keperawatan yang bermutu adalah suatu bentuk pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien sebagai pelanggan. Untuk mencapainya Perawat dapat memulai dari dirinya sendiri, Perawat  harus bekerja sesuai standar praktek pelayanan keperawatan sesuai wewenang dan tangung jawabnya, selalu berupaya mengembangkan diri melalui pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan serta sistem jenjang karir.

Referensi :
Kompas. (2001). Nasib Perawat : Pendidikan Rendah, Gaji Rendah, Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari http://www.kompas.com/kompas.

Kompas. (2001). Diskusi Era Baru Profesi Keperawatan : Perawat Menjadi Mitra Sejajar Dokter. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari  http://www.kompas.com/kompas

Muhammad, SM. (2005). Jadi Perawat ? Ogah Ah. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari
http://www.inna-ppni.or.id/index.php

Muhammad, SM. (2005). Reformasi Keperawatan. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari http://www.inna-ppni.or.id/index.php

Munadi, R. (2006). Seratus Ribu Perawat Di Ri Nganggur !. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari http://perawatoverseas.blogspot.com

Pusdiknakes. (2001). Kemandirian Dan Profesionalisme Perawat Dalam Praktik Keperawatan. Diperoleh tanggal 12 April 2007 dari http://www.pusdiknakes.or.id/new

Sugiharto (2005). Antisipasi Perencanaan Tenaga Kesehatan Guna Mendukung Indonesia Sehat 2010, Diperoleh tanggal 14 April 2007 dari http://www.twnagakesehatan.or.id/artikel_detail

Yusuf, S. (2006). Maraknya Pendirian Institusi Kesehatan. Diperoleh tanggal 14 April 2007 dari http://inna-ppni.or.id/html




| More

0 komentar:

Posting Komentar

Sponsor :

Entri Populer

 

Suhardi | Copyright © 2009 - Blogger Template Designed By BLOGGER DASHBOARD